Sekira 76 Negara Kaya Menyatakan Komitmen Dukung Program 'COVAX' yang digagas WHO, Tetapi Tak Ada Amerika Serikat di Dalamnya, Kenapa?
WIKEN.ID - Hingga detik ini banyak pihak mulai dari Pemerintah, masyarakat, sampai tenaga medis masih bahu-membahu menangani keberadaan Covid-19.
Salah satu caranya melalui Gerakan 3M di masa adaptasi kebiasaan baru (AKB) yang disosialisasikan oleh Pemerintah.
Gerakan 3M tersebut meliputi memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Gerakan ini merupakan salah satu upaya pencegahan untuk memutus rantai penularan Covid-19.
Dunia internasional pun juga masih berusaha mengembangkan vaksin.
Bahkan puluhan negara kaya menyatakan komitmen untuk bergabung dengan rencana alokasi vaksin Covid-19 global yang dipimpin bersama oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sekitar 76 negara kaya yang mengikuti program ini bertujuan untuk membantu membeli dan mendistribusikan vaksin secara adil.
Melansir Reuters via Kontan.co.id, kepala eksekutif aliansi vaksin GAVI, mengatakan rencana terkoordinasi yang dikenal sebagai COVAX, sekarang didukung oleh Jepang, Jerman, Norwegia, dan lebih dari 70 negara lainnya.
Pada prinsipnya, mereka setuju untuk mendapatkan vaksin Covid-19 melalui fasilitas Covax untuk populasi mereka.
"Kami memiliki, saat ini, 76 negara berpenghasilan menengah ke atas dan negara berpenghasilan tinggi yang telah memberikan konfirmasi untuk berpartisipasi - dan kami berharap jumlah itu terus meningkat," kata Berkley kepada Reuters dalam sebuah wawancara.
“Ini kabar baik. Ini menunjukkan bahwa fasilitas COVAX terbuka untuk bisnis dan menarik minat di seluruh dunia seperti yang kami harapkan,” katanya seperti yang dikutip Reuters.
Berkey menambahkan, saat ini, koordinator COVAX sedang dalam pembicaraan dengan China tentang kemungkinan negara itu untuk bergabung.
"Kami melakukan diskusi kemarin dengan pemerintah (China)," kata Berkley. "Kami belum memiliki kesepakatan yang ditandatangani dengan mereka, tetapi Beijing telah memberikan sinyal positif," tambahnya.
COVAX dipimpin bersama oleh GAVI, WHO dan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI), dan dirancang untuk mencegah pemerintah nasional menimbun vaksin Covid-19 dan fokus pada vaksinasi pertama orang-orang yang paling berisiko tinggi di setiap negara.
Para pendukungnya mengatakan bahwa strategi ini harus mengarah pada biaya vaksin yang lebih rendah untuk semua orang dan lebih cepat mengakhiri pandemi yang telah merenggut sekitar 860.000 nyawa secara global.
Negara-negara kaya yang bergabung dengan COVAX akan membiayai pembelian vaksin dari anggaran nasional mereka, dan akan bermitra dengan 92 negara miskin yang didukung melalui sumbangan sukarela untuk memastikan vaksin dikirimkan secara adil.
Negara-negara kaya yang berpartisipasi juga bebas untuk mendapatkan vaksin melalui kesepakatan bilateral dan rencana lainnya.
Sebelumnya diberitakan, Amerika Serikat mengatakan pada hari Selasa bahwa mereka tidak akan bergabung dengan COVAX karena keberatan pemerintahan Trump atas keterlibatan WHO.
Ini merupakan sebuah langkah yang digambarkan oleh beberapa kritikus sebagai hal yang mengecewakan.
Berkley mengatakan, dia tidak terkejut dengan keputusan AS, tetapi akan berusaha melanjutkan pembicaraan dengan Washington.
WHO menggambarkan COVAX sebagai "polis asuransi yang tak ternilai" bagi semua negara untuk mengamankan akses ke vaksin Covid-19 yang aman dan efektif ketika dikembangkan dan disetujui.
Koordinator telah menetapkan batas waktu 18 September bagi negara-negara yang mendaftar untuk membuat komitmen yang mengikat.
Tujuan COVAX adalah untuk mendapatkan dan mengirimkan 2 miliar dosis vaksin yang disetujui pada akhir tahun 2021.
Saat ini, COVAX memiliki sembilan kandidat vaksin Covid-19 dalam portofolionya yang menggunakan berbagai teknologi dan pendekatan ilmiah yang berbeda.
Beberapa sudah dalam uji klinis tahap akhir dan datanya bisa tersedia pada akhir tahun.(*)