Koordinator ILO Asia Tenggara untuk Proyek Perikanan, Abdul Hakim mengatakan proses pelarungan atau sea burial diatur dalam ILO Seafarers Regulation.
Aturan itu memperbolehkan kapten kapal memutuskan untuk melarung jenazah dalam beberapa kondisi.
Di antaranya, jenazah meninggal karena penyakit menular atau kapal tidak memiliki fasilitas menyimpan jenazah, sehingga dapat berdampak pada kesehatan di atas kapal.
Selain pengalaman tak terlupakan melarung jenazah teman, para ABK juga mengklaim mereka mengalami eksploitasi, mulai dari jam kerja yang panjang dengan waktu istirahat minim, hingga perbedaan makanan dan minuman dengan awak kapal China.
"Kami bekerja lebih dari 18 jam sehari, mulai jam 11 siang sampai jam 4 dan 5 pagi. Waktu istirahat makan hanya 10-15 menit," ujar awak kapal Indonesia lainnya.
Tidak hanya itu, ABK asal Indonesia juga mengalami diskriminasi soal makanan dan minuman.
Mereka terpaksa makan umpan ikan dan minum air laut yang telah difiltrasi.
Sedangkan para bos dan ABK lainnya makan makanan segar dan minum air mineral.
Klaim para ABK tersebut belum dapat diverifikasi secara independen.
Dalam konferensi pers Kamis kemarin (07/05), Menteri Luar Negeri Retno Masudi mengatakan ia sudah memanggil Duta Besar China di Jakarta untuk mendesak otoritas negara itu menyelidiki kondisi di kapal China tersebut, serta meminta pertanggung jawaban pihak kapal.