WIKEN.ID - Kasus pasien menerima obat kadaluwarsa kembali terjadi.
Pasien yang bernama Nur Istiqomah (50), diberi obat kadarluwarsa oleh petugas kesehatan Puskesmas Vila Pertiwi, Cilodong, Kota Depok setelah mengeluh sakit paru-paru.
Obat kadarluarsa ini telah dikonsumsi sebanyak 33 kali selama 2 hari setelah dari puskemas, Minggu (8/9/2019).
Obat suntik ini diberikan ke pasien yang mengidap penyakit paru-paru basah.
Kasus ini kemudian beredar viral dan akhirnya Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Depok Novarita mengambil tindakan berupa sanksi disiplin kepada pihak Puskesmas Vila Pertiwi.
Novarita mengatakan jika gejala pusing dan mual yang dirasakan pasien setelah mengkonsumsi obat itu adalah bukan dari efek obat kadaluarsa.
"Pusing dan mualnya karena efek samping obat tersebut bukan karena kadaluarsa," kata Novarita yang dikutip dari Tribun Jakarta
Obat kadaluwarsa yang dikonsumsi pasien paru-paru basah tidak memberikan efek samping apapun, dan hanya menurunkan kualitas obat itu sendiri.
"Kalau obat yang kadaluwarsa itu hanya menurunkan kualitas daripada obat tersebur terhadap penyakit. Bukan gara-gara obatnya kadaluwarsa jadi pusing-pusing," jelas Novarita.
Gejala ini sebenarnya mirip apa yang terjadi pada kasus ibu hamil yang diberikan obat kedaluwarsa oleh salah satu puskesmas di Jakarta Selatan pada bulan bulan Agustus 2019 yang lalu.
Adapun efek yang diderita oleh ibu hamil tersebut, yakni muntah-muntah, kepala pusing, sakit perut, dan perut terasa keras.Lantas bahayakah mengkonsumsi obat kadarluwarsa?
Sejak tahun 1979, Administrasi makanan dan obat AS (FDA) mewajibkan perusahaan farmasi untuk mencantumkan tanggal kadaluarsa pada obat yang diresepkan dan dijual bebas.
Tanggal kadaluwarsa obat berbeda dengan tanggal kadaluarsa susu yang akan basi jika diminum lewat tanggal yang tertera.
Tanggal kadaluwarsa obat adalah tanggal di mana produsen menjamin keamanan dan potensi penuh obat tersebut.
Namun, seberapa lama obat disebut aman dan efektif masih menjadi perdebatan hingga kini.
Obat-obatan seperti insulin, nitrogliserin dan antibiotik cair memiliki bahan aktif yang diketahui kurang stabil dari waktu ke waktu, banyak obat mungkin memiliki umur simpan yang jauh lebih lama daripada yang disarankan oleh kemasannya.
Efektivitas obat pasti dapat menurun seiring waktu, dan hal ini dijelaskan dalam beberapa studi.
Baca Juga: Terluka, Anjing Liar Ini Datangi Apoteker untuk Minta Diobati
Menurut Lee Cantrell, direktur California Poison Control System yang dikutip Kompas.com, mengaku pernah memeriksa obat lama yang tersimpan di gudang sebuah apotek, salah satunya anthistamin, penghilang rasa sakit, dan pil diet.
Menurutnya, obat-obatan itu sudah lewat 40 tahun dari tanggal kadaluarsa, tapi masih bisa berfungsi.
Meski begitu, FDA masih sangat memperingatkan konsumen agar tidak minum obat yang kedaluwarsa.
"Obat-obatan kadaluwarsa berisiko memicu pertumbuhan bakteri dan antibiotik sub-poten akan gagal mengobati infeksi yang mengarah pada penyakit yang lebih serius dan resistensi antibiotik," kata FDA dalam situs webnya.
Menurut Uswatun Nurul Falah, S.Farm., Apt, seorang apoteker mengungkapkan tanda-tanda obat rusak dan kadaluarsa.
"Tanda-tanda obat rusak bisa dicermati berdasarkan bentuknya, misal untuk obat padat timbul perubahan warna, bentuk, timbul bintik-bintik atau noda," ujar Ulfah yang dikutip dari Kompas.com.
"Sementara untuk obat dengan bentuk cair jika sudah rusak muncul tanda-tanda, seperti di mulut botol ada semacam kerak gitu, terus warna, rasa, dan baunya juga berubah," lanjut dia. (*)