WIKEN.ID - Pada Jumat 24/7 silam, Australia secara resmi telah mengirim deklarasi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan jika mereka menolak klaim maritim China di Laut China Selatan.
Dengan adanya deklarasi ini maka Australia resmi menjadi negara selain AS yang menentang tindakan China di Laut China Selatan.
Menurut Australia dan Amerika Serikat, tindakan China tidak sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).
"Australia menolak klaim China untuk hak bersejarah atau hak dan kepentingan maritim sebagaimana ditetapkan dalam praktik panjang sejarah di Laut China Selatan," kata Australia dalam deklarasi yang mereka ajukan ke PBB seperti dikutip Reuters.
Australia juga mengatakan, tidak menerima pernyataan China bahwa kedaulatannya atas Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly "mendapat pengakuan secara luas dari masyarakat internasional", mengutip keberatan dari Vietnam dan Filipina.
Cina mengklaim 90% perairan yang berpotensi kaya energi.
Hal itu bertentangan dengan kepentingan Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga mengklaim bagian-bagiannya di Laut China Selatan.
Sekilas memang tindakan AS dan Australia terlihat seperti membantu dan melindungi ASEAN dari pencaplokan sewenang-wenang China.
Namun perlu diingat, tidak ada makan siang gratis di dunia ini, yang artinya pastinya kedua negara tersebut memiliki kepentingan sendiri di wilayah Pasifik.
Ada alasan kuat mengapa Australia dan AS mulai harus perkuat posisi mereka di Laut China Selatan.
Alasan utamanya adalah China, yang kebangkitan militernya dipastikan menyingkirkan hegemoni AS di wilayah itu.
Namun rupanya bagi Australia, kebangkitan Indonesia sama pentingnya.
Bahkan, kebangkitan militer Indonesia menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan bagi rencana militer Australia.
Sehingga seorang analis mengatakan Australia tidak hanya perlu senjata yang bisa tenggelamkan kapal-kapal ribuan kilometer dari pantai mereka.
Namun mereka juga harus tingkatkan kemampuan target darat yang jangkauannya terhitung jauh.
Penulis seri Strategist di Australian Strategic Policy Institute, Marcus Hellyer menjelaskan ada dua pencegahan kemajuan militer negara lain yang bisa diterapkan Australia untuk menghadapi ancaman yang bisa muncul.
Australia bisa mencegahnya dengan menghukum mereka atau membuat biaya perkembangan militer itu terlalu mahal bagi mereka, sehingga harga yang fantastis membuat mereka berpikir dua kali untuk mengembangkan militernya.
Hukuman mungkin bisa diterapkan untuk menarget teritori China, tetapi Hellyer jelaskan jika China tidak akan mudah percaya jika Australia akan lakukan itu.
Pasalnya, jika dihukum, Beijing akan merespon dengan cara yang jauh lebih buruk.
Kebangkitan militer di wilayah China adalah simbolisme politik yang sangat dramatis sampai hampir menjamin akan terjadi konflik oleh China.
Sebaliknya, China juga punya kontrol untuk menetralkan ketegangan yang hampir terjadi.
Australia akan sadar akan kontrol China tersebut, sehingga Australia harus bergerak lebih cepat menggunakan logika "segera gunakan atau nanti akan kehilangan".
Namun, berargumen dengan China terkait sanksi yang akan diterapkan jika China nakal akan sebabkan ketidakstabilan dan krisis berkepanjangan.
Sehingga, walaupun Australia memiliki senjata dengan jangkauan 4000 km sangatlah problematis, bahkan untuk lakukan pendekatan pencegahan dengan strategi penolakan.
Senjata sekuat itu sebabkan ambiguitas atau makna ganda, karena bisa digunakan untuk serang lapangan terbang jet tempur tetapi Australia bisa dengan mudah menjadi target serangan nuklir.
Senjata sejauh 4000 km akan keluarkan China dari jangkauan serangan itu, sehingga tunjukkan jika Australia tidak menghukum China secara langsung.
Namun, pulau-pulau buatan yang dikatakan menjadi milik China akan terkena, dan itu tentu membuat China berang.
Lebih lagi, senjata yang jarak serangnya 4000 km itu akan sangat kuat bisa menghancurkan Indonesia.
Sam Roggeveen, penulis lain untuk Australian Strategic Policy Institute, sebutkan mengapa Jakarta penting untuk tidak dijadikan target serangan Australia.
Saat Indonesia lemah, Australia dapat suka-suka kembangkan jet tempur F-111 tanpa mendapat serangan balasan dari Jakarta.
Namun, kekuatan militer Indonesia semakin kuat setiap harinya, tengah abad ini dikatakan kekuatan militer Indonesia akan bangkit, sampai bisa kirim rudal jarak jauh sendiri.
Sehingga bagi Sam Roggeveen, dalam menyatakan pernyataannya Australia harus tegas tidak akan berikan ancaman untuk Jakarta.
Australia harus menangkan hati Indonesia, dan jika ada rudalnya yang menyerang salah satu pulau di Indonesia, maka tentunya Indonesia akan siap menyerang balik.
Perkembangan senjata Australia
Pertimbangan ini sangat disayangkan, karena melansir abc.net.au, Australia telah menjadi negara kedua pengimpor senjata di bawah Arab Saudi.
2018 lalu, Australia gelontorkan uang tidak sedikit untuk membayar jet tempur baru seperti Jet Tempur Serangan Gabungan dan proyek Kapal Selam Masa Depan dari Perancis.
Perdana Menteri Scott Morrison sendiri telah putuskan habiskan uang banyak di bidang pertahanan dan keamanan selama krisis ekonomi nasional.
Ia mengatakan kepada Akademi Pasukan Pertahanan Australia, jika Australia berada di tengah ketegangan militer berat.
(*)