Mereka mengkritisi batas minimal usia perkawinan perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
MK menilai UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak.
Dalam UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Sehingga siapa pun yang masih berusia di bawah 18 tahun masih termasuk kategori anak-anak.
"Perlunya perubahan kebijakan tentang batas usia karena semakin meningkatnya usia perkawinan anak dengan sebaran angka perkawinan di atas 10 persen merata di seluruh provinsi. Di atas 25 persen ada di 23 provinsi. Kondisi ini mengkhawatirkan karena anak dilindungi hak-haknya," tutur hakim lainnya Saldi Isra.
Kendati demikian, MK menegaskan tak bisa merevisi UU tersebut karena lembaga yang memiliki kewenangan itu adalah DPR.
"MK tidak bisa menentukan berapa batas usia perkawinan, hanya dapat menyatakan kebijakan itu diskriminatif dan tetap menjadi ranah pembentuk UU," ujar hakim 1 anggota 1 Dewa Gede Palguna.
Maka dari itu, MK memberikan tenggat waktu kepada DPR selama tiga tahun guna merevisi ketentuan batas usia dalam UU perkawinan.
"Meminta pembuat UU paling lama 3 tahun untuk melakukan perubahan tentang perkawinan, khususnya berkenaan dengan batas usia minimal perempuan dalam perkawinan," sambung Anwar.