Bahkanpenyebutan 'pelakor'sendiri menunjukkan adanya ketimpangan jender dan ketidaksadaran jender, bahkan di antara perempuan sendiri.
Dilansir Kompas.com, Visiting Scholar di Auckland University of Technology Nelly Martin berkata bahwa 'pelakor' digunakan oleh masyarakat untuk menyalahkan dan mempermalukan perempuan, sementara laki-laki yang melakukan perselingkuhan sama sekali tidak disalahkan.
Sebab, istilah 'pelakor' menempatkan laki-laki sebagai pelaku yang tidak berdaya dan bisa direbut, meskipun perselingkuhan hanya bisa terjadi ketika kedua belah pihak berkolaborasi.
Harti Muchlas, Direktur Rifka Annisa, pun berpendapat sama. Dia menegaskan bahwa perselingkuhan sebetulnya merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang sering kali dilupakan oleh masyarakat.
"Perempuan mendapat stigma berkali-kali lipat, sementara laki-laki yang harus bertanggung jawab terhadap perilaku kekerasannya itu tidak mendapatkan perhatian yang serius dari masyarakat," ujarnya.