WIKEN.ID -Teknologi kini kian berkembang pesat di era modern ini, termasuk permainan.
Anak-anak kini bisa dengan mudah mendapatkan permainan tanpa harus kita membelinya.
Cukup dengan smartphone, kita bisa memberikan hiburan kepada anak kita dengan praktis.
Tapi tunggu dulu, ternyata hal tersebut sangat tidak baik lho bagi si anak.
Bahkan seorang terapis asal inggris mengakatan, memberikan ponsel ke anak sama seperti "memberinya sebotol wine".
loh kok bisa?
Waktu yang dihabiskan seseorang untuk mengirim pesan di aplikasi percakapan atau membalas komentar di media sosial bisa menyebabkan kecanduan pada anak remaja, seperti halnya narkoba dan alkohol.
Dilansir dari Kompas.com, Mandy Saligari, spesialis kecanduan dari klinik rehabilitasi Harley Street London, mengatakan bahwa kecanduan gadget seharusnya juga diatasi seperti halnya kecanduan narkoba.
"Saya selalu mengatakan, saat Anda memberikan tablet atau ponsel ke anak, itu seperti memberikan mereka sebotol wine atau segram kokain. Apakah kita siap membiarkan mereka dengan benda itu di balik pintu?" katanya.
Ia menjelaskan, penggunaan gawai yang berlebihan memiliki dampak yang sama pada otak seperti halnya obat-obatan terlarang.
"Saat membicarakan perilaku kecanduan, biasanya orang langsung melihat pada zat berbahaya. Padahal, pola perilaku itu bisa mewujud dalam berbagai bentuk, misalnya obsesi pada makanan, melukai diri, atau mengirim teks bernuansa seks," katanya.
Di kliniknya, Saligari, mengatakan bahwa dua pertiga pasiennya adalah remaja berusia 16-20 tahun.
Ia menyebut peningkatannya sangat dramatis dalam 10 tahun terakhir.
Dalam survei terbaru yang melibatkan 1.500 guru di Inggris terungkap, dua pertiga responden mengaku sadar murid mereka berbagi konten bernuansa seksual, dan sekitar 1 dari 6 anak sudah melakukannya sejak usia SD.
"Banyak pasien saya yang baru berusia 13-14 tahun dan melakukan sexting menganggap itu adalah hal yang normal," katanya.
Perilaku sexting itu bukan hanya mengirimkan kata-kata bermuatan seks tapi juga mengirimkan foto diri telanjang.
Hal itu dianggap normal jika orangtua atau orang dewasa tidak mengetahuinya.
Menurut Saligari, jika anak sejak kecil sudah diajarkan untuk menghargai dirinya, perilaku mengeksploitasi diri seperti itu tidak mungkin terjadi.
"Ini adalah isu menghargai diri dan identitas diri," katanya. (*)