Ramai Kasus Dedy Susanto yang Mengaku Doktor Psikologi, Seperti Apa Seharusnya Prosedur Terapi yang Dilakukan Psikolog?

Senin, 17 Februari 2020 | 14:30

Ilustrasi mencari bantuan psikologi

WIKEN.ID- Netizen tengah ramai membicarakan perseteruan antara Revina VT dan Dedy Susanto.

Revina VT merupakan seorang selebgram pembawa acara yang sangat vokal menyampaikan pendapatnya di muka umum.

Sedangkan Dedy Susanto juga seorang selebgram yang menyantumkan gelar Doktor Psikologi di akun instagramnya.

Selain memiliki gelar tersebut, Dedy juga menuliskan bahwa dirinya seorang trainer motivasi berbasis terapi psikologi, detox kesedihan terpendam dari masa lalu.

Baca Juga: Larang Suami Berkomentar Apapun Saat Syahrini Menikah, Empat Tahun Lalu Ashanty dan Anang Pernah Janji Lakukan Ini di Resepsi Incess Namun Tak Ditepati

Pria berkacamata ini kerap melakukan terapi dan seminar dalam forum besar.

Ditengah kariernya yang mulai melejit ini Dedy diterpa kabar miring yang membuat gaduh netizen.

Perseteruan bermula ketika Dedy mengajak Revina untuk berkolaborasi pembuatan konten YouTube.

Sebelum melakukan kolaborasi itu, Revina mencari tahu siapa Dedy.

Hingga dia menemukan informasi mengejutkan perihal izin praktik Dedy dan isu pelecehan seksual yang dilakukan pada kliennya saat melakukan "terapi".

Lantas, bagaimana seorang psikolog biasanya melakukan sesi terapi?

Baca Juga: Heboh! Pembuatan Film Porno di Situs Suci Bersejarah, Membuat Warga Marah dan Geram

Melansir dari Kompas.com,psikolog klinis sekaligus Dekan Fakultas Psikologi Undip, Dr. Hastaning Sakti, M.Kes memberikan penjelasan mengenai psikolog yang berhak melakukan terapi.

Seseorang dapat dikatakan sebagai psikolog bila telah melalui berapa tahapan.

"Pertama, lulus S1 atau sarjana harus dari Fakultas Psikologi," terang Hasta seperti dikutip Wiken.id,Senin (17/2/2020).

Karena sarjana psikologi mendapatkan semua dasar-dasar ilmu psikologi.

Mulai dari sejarah sampai bagiamana menjadi konselor yang baik, melakukan wawancara, melakukan observasi, mengetahui aneka macam terapi dan tes, dan membuat perangkat tes psikologinya.

Baca Juga: Waspada, Jangan Instal Aplikasi Ponsel Ini Jika Tak Ingin Data Pribadi Kamu Dicuri! Ada Lebih Dari 10

"Ketika dia (mahasiswa S1 psikologi) lulus, itu belum dikatakan psikolog. Nah, dia kemudian mengambil profesi psikologi di S2 atau Magister Psikologi. Setelah dia lulus dari Magister profesi psikologi, baru dikatakan psikolog. Itu pun dia sebelumnya harus mencari bermacam-macam kasus dan sebagainya, termasuk mendapat lisensi Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)," kata Hasta.

"Ini (Magister Psikolog) berbeda dengan Magister Sains.

Jika S1-nya psikologi kemudian S2 masuk program sains, itu dia tidak memiliki lisensi untuk buka praktik karena dia bukan psikolog," jelasnya.

Hasta melanjutkan, seseorang baru bisa dikatakan sebagai psikolog jika memang dia memiliki kualifikasi lulusan dari sarjana dan magister profesi psikologi. Selain itu tidak.

Semisal, lulusan sarjana psikologi melanjutkan magisternya di bidang lain, dia sudah tidak dapat disebut psikolog.Baca Juga: Datangi Korban Banjir, Bantuan dari Bupati Jember Ditarik Lagi, Netizen : Warganya Sendiri Diprank

Psikolog yang berhak melakukan terapi hanyalah psikolog klinis yang tergabung dalam Ikatan Psikologi Klinis (IPK) dan mendapat lisensi resmi dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

Untuk terdaftar sebagai anggota HIMPSI, seseorang diwajibkan mendapat gelar sarjana dan magister profesi Psikologi.

Sementara untuk melakukan terapi psikologi, seseorang harus memiliki Surat Izin Praktik Psikolog (SIPP).

"Kemudian harus mengurus Surat Izin Praktik Psikologi (SIPP) yang memiliki batas waktu. Misalnya, batas izin praktik saya sampai Agustus 2020. Nah sebelum Agustus 2020 saya harus perpanjangan," tegasnya.(*)

Baca Juga: Sudah Jadi Artis Internasional, Cinta Laura Terciduk Gunakan Make Up Kadaluarsa, Ternyata Ini Bahayanya

Editor : Alfa

Sumber : Kompas.com