WIKEN.ID -Penipuan digital semakin marak terjadi bahkan penipuan yang digunakan pun semakin canggih.
Dengan memanfaatkan teknologi, seorang penipu dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar karena jumlah korban yang dijangkau pun lebih banyak.
Ditambah lagi di era digital ini masyarakat lebih memilih belanja online karena dinilai lebih praktis, mudah, dan tidak butuh banyak biaya.
Hal ini pun menjadi “peluang besar” bagi para penipu online dalam menjalankan aksinya.
Baca Juga:Merawat Hewan Peliharaan Ini Tampak Mudah, Kenali Cara Memandikan Hamster yang Benar
Baru-baru ini, Center for Digital Society Universitas Gajah Mada (UGM) bersama Program Magister Ilmu Komunikasi UGM dan PR2Media merilis hasil temuannya
Yakni bertajuk "Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi".
Mereka meneliti yang mana mayoritas responden yang diteliti pernah menjadi korban penipuan digital.
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa penipuan berkedok hadiah menjadi modus penipuan digital paling tinggi di Indonesia.
Baca Juga:Tak Takut Ditinggal Suaminya Perkara Wanita Lain Lagi, Maia Estianty Lakukan Ini pada Irwan Mussry
"Survei kami terhadap 1.700 responden di 34 provinsi menemukan, 66,6% responden pernah menjadi korban, yang terbanyak adalah modus penipuan berkedok hadiah yang dilakukan melalui SMS dan panggilan telepon," kata Novi Kurnia, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM yang menjadi ketua tim peneliti.
Buku laporan riset tersebut diluncurkan dalam talkshow daring pada Rabu (24/8/2022).
Novi Kurnia mengatakan, riset ini dilakukan melalui metode survei yang diikuti dengan FGD bersama 20 responden yang pernah menjadi korban berbagai penipuan digital.
Riset kolaborasi itu menanyakan kepada responden tentang 15 modus penipuan yang dianggap umum terjadi.
Baca Juga:Syok Saksikan Istrinya Melahirkan, Komedian Babe Cabita Puasa 3 Bulan Tak 'Tiduri' Istrinya: Trauma!
"Temuan survei ini mengonfirmasi dugaan peneliti terkait seringnya muncul berita penipuan digital di Indonesia dan seringnya warga menerima modus penipuan lewat SMS, bahwa penipuan digital adalah masalah urgen di Indonesia dan perlu diatasi bersama oleh pemangku kepentingan mengingat sifatnya yang lintas sektoral,” kata Diah Angendari, Sekretaris Eksekutif CfDS Fisipol UGM.
Riset yang dilakukan pada Februari-Juni 2022 dengan dukungan WhatsApp itu menemukan antara lain:
-Penipuan berkedok hadiah melalui jaringan seluler (91,2%).
-Pinjaman online ilegal (74,8%).
-Pengiriman tautan/link yang berisi malware/virus (65,2%).
-Penipuan berkedok krisiskeluarga (59,8%).
-Investasi ilegal (56%).
Selanjutnya, medium komunikasi yang paling banyak digunakan dalam penipuan adalah jaringan seluler (SMS/panggilan telepon) (64,1%), diikuti media sosial (12,3%), aplikasi chat (9,1%), situs web (8,9%), dan email (3,8%).
Baca Juga:Kehidupan Luna Maya, Sempat Berseteru, Kini Ayu Ting Ting Panggil Sang Aktris dengan Sebutan Ini
Sementara itu, modus penipuan dengan korban paling banyak adalah penipuan berkedok hadiah melalui jaringan seluler (36,9%), pengiriman tautan/link yang berisi malware/virus (33,8%), penipuan jual-beli (29,4%), situs web/aplikasi palsu (27,4%), dan penipuan berkedok krisis keluarga (26,5%).
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, talkshow tersebut mendiskusikan rekomendasi dan langkah yang perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan, mulai dari Kementerian Kominfo, lembaga negara seperti OJK, kepolisian sebagai penegak hukum, hingga pelaku industri.
"Melihat praktik baik yang dilakukan negara-negara lain, tim peneliti percaya, upaya mengatasi penipuan digital harus dilakukan melalui kolaborasi lintas otoritas, salah satunya adalah perlunya platform pengaduan terintegrasi, sehigga korban tidak perlu melapor ke berbagai pihak satu demi satu, tapi sekali lapor sudah diterima oleh semua otoritas terkait," kata Engelbertus Wendratama, peneliti PR2Media. (*)
Informasi selengkapnya terkait Penipuan Digital di Indonesia, bisa diakses melaluihttp://ugm.id/risetpenipuandigital