WIKEN.ID -Baru-baru saja Indonesia dicoret Amerika Serikat dari daftar negara berkembang, dan diberikan status baru yakni sebagai negara maju.
Namun, status tersebut sepertinya berbanding terbalik dengan nasib pilu yang dialami oleh tiga bocah asal Tapanuli Selatan.
Nasib pilu harus dialami oleh tiga orang anak asal Tapanuli Selatan. Terpaksa makan sabun sejak kedua orangtuanya bercerai.
Bagimana tidak, lantaran tak mendapat perhatian orangtuanya ketiga anak ini menjadi terbiasa makan sabun.
Bahkan yang lebih parah, bungsu dari tiga bersaudara ini kini mengalami kekurangan gizi gara-gara ikut kedua kakaknya makan sabun.
Ketiga anak tersebut adalah Nofriani (11), Yuliana (9) dan Andika (4).
Kini terlihat badan mereka kurus, dan ia terkulai lemah di atas tikar di Desa Muara Tais II, Kecamatan Muara Angkola Muara Tais, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Tiga bocah bersaudara ini dilahirkan seorang ibu bernama Ratima Siregar (45) dan ayah Rosul Lubis (48).
Sayang, ayah dan ibu mereka berpisah sejak tiga tahun lalu. Ratima meninggalkan suami dan ketiga anaknya.
Akhirnya, tiga bersaudara ini hidup bersama ayah dan neneknya.
Dilansir dari kompas.com bahwa ibunya sudah tiga tahun meninggalkan suami dan anak-anaknya.
"Ibu mereka sudah tiga tahun meninggalkan suami dan anak-anaknya. Jadi mereka tinggal bersama saya dan ayahnya," kata Suryani Batubara (75) nenek ketiga bocah tersebut.
Suryani mengaku, kebiasaan memakan sabun mulanya hanya dilakukan cucunya si sulung Nopriani.
Lalu, Nopriani mengajarkan kepada kedua adiknya.
"Memang begitu, sudah sering sekali. Padahal kalau makan saya kasih, tapi tetap saja dia mencari sabun dan memakannya. Kemudian diajarkannya kepada adiknya," ucap Suryani.
Nurkholila Lubis, bou (bahasa batak;adik perempuan ayah) mereka menceritakan, kebiasaan ketiganya memakan sabun mulai terkuak setelah si bungsu Andika mengalami sakit dan dibawa ke puskesmas setempat.
Di sana baru diketahui, Andika sering mengkonsumsi sabun bersama kedua kakaknya.
Berat badannya tidak sesuai dengan anak sehat seusianya, kurang gizi.
"Memang kakaknya yang paling besar sejak usia satu tahun sudah sering makan sabun. Sabun jenis apa saja, dan itu memang sudah bawaannya," kata Nurkholila.
Kebiasaan itu terus terbawa hingga Nopri sang kakak berusia 11 Tahun dan tercatat sebagai siswa kelas 3 di Sekolah Dasar setempat.
Setelah ayah dan ibu mereka berpisah, perhatian dan kasih sayang tidak lagi didapat seperti biasa.
Kehidupan dan makan mereka tidak teratur, ditambah lagi beban ekonomi dan kondisi sang ayah yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
"Sejak orangtua mereka berpisah, ketiganya tidak ada lagi yang memperhatikan. Nenek mereka sudah tua, ayah mereka pun tidak mempunyai pekerjaan tetap. Jadi bisa dibilang faktor kemiskinan dan kasih sayang juga yang membuat seperti ini," ujar Nurkholila yang kondisi ekonominya juga terbilang rendah.
Kata Nurkholila, Nopriani selalu membawa kedua adiknya mencari sabun di belakang rumah-rumah warga sekitar.
Sabun yang dimakan juga tidak dalam jumlah banyak. Namun hampir setiap hari dilakukan.
"Katanya rasanya seperti susu. Jual ketahuan sudah sering dilarang, tapi tetap saja dilakukan," ucap bibi mereka.
Mirisnya, sebelum kejadian itu terkuak, rumah yang ditempati ketiga bocah bersama ayah dan nenek mereka terbilang ramai dan padat penduduk.
Bahkan, sebuah plang berisi himbauan masyarakat untuk rutin membawa anak ke Posyandu sempat terpampang persis di depan rumah mereka.
Dan paska kejadian itu, plang tersebut tidak lagi ditemukan.
Camat Angkola Muaratais, AM Fadhil Harahap mengatakan, kejadian itu baru diketahui sepekan lalu.
Saat itu, Andika si bungsu mengalami sakit dan dibawa ke puskesmas setempat.
"Kejadian ini baru diketahui pada Rabu satu minggu yang lalu. Dan saat itu Andika mengalami sakit, dan setelah ditanyai rupanya dia sering memakan sabun karena diajari kakaknya," ucap Fadhil.
Mendapat laporan itu, bersama perangkat desa dan kecamatan, pihaknya langsung memberikan perhatian intensif.
Tidak hanya Andika, Nopriani dan Yuliani juga mendapat penanganan kesehatan.
Fadhil mengaku, kebiasaan warganya itu sampai memakan sabun tidak hanya faktor ekonomi, namun juga perhatian dari keluarga, orangtua dan warga sekitar.
"Itu memang kita sayangkan. Apalagi sang ayah bisa dikatakan punya gangguan psikis, tidak punya pekerjaan tetap dan ditinggalkan ibu mereka," kata Fadhil.
Menyikapi masalah tersebut, Fadhil bersama Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan setempat dan dinas terkait sudah melakukan upaya dan penanganan yang diperlukan.
"Memang sebelumnya berat badan Andika 10,09 kilogram, dan setelah kita rawat maksimal dengan memberikan makanan, susu, vitamin dan lainnya, berat badannya bertambah menjadi 11,04 kilogram," ujar Fadhil.
Melihat kondisi ketiganya tidak ada yang mengurus, pihak kecamatan dan disetujui pihak keluarga bersepakat untuk menempatkan Nopriani, Yuliani dan Andika di Panti Asuhan.
"Kita sudah buat surat pernyataan, ketiganya kita tempatkan di Panti Asuhan. Tujuannya biar ada yang mengurus, dan soal kesehatan juga sudah kita koordinasikan untuk terus dicek secara rutin," ungkap Fadhil.
Begitu juga dengan status sekolah Nopriani yang duduk di bangku kelas 3 SD dan Yuliani di kelas 2 SD, akan diurus dan dipindahkan ke sekolah yang ada di Panti Asuhan Amaliah Atthohir di Desa Hutatonga, Kecamatan yang sama. Saat dibawa ke Panti Asuhan, Andika sang Adik tampak gembira, dia tak mau lepas dari gendongan petugas yang membawanya.
Begitu juga Yuliani, tampak semangat dan langsung beradaptasi dengan teman-temannya yang ada.
Namun tidak bagi Nopriani, sang kakak tampak terus menangis dan terlihat menolak dibawa ke Panti Asuhan.
Dia tak mau berpisah dengan ayah dan neneknya. (*)