WIKEN.ID -Setiap tahunnya pada tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini.
Hari Kartini merupakan momen spesial untuk mengingat RA Kartini yang dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita Indonesia.
RA Kartini juga dianggap sebagai sosok pahlawan perempuan yang mampu menjadi pelopor bagi kebangkitan perempuan pribumi.
RA Kartini dikenal dengan perhatiannya pada pendidikan terhadap perempuan.
Menurutnya pendidikan adalah hal yang penting bagi perempuan, apalagi perempuan merupakan pendidik pertama untuk tiap manusia.
Dalam masa penjajahan, kondisi perempuan tidak begitu baik, namun RA Kartini miliki semangat kuat untuk belajar.
Baca Juga :Rumah Sakit di Makassar Ini Siap Tampung Caleg Gagal, Tampilan Kamar VVIP Mirip Hotel
Ia bahkan memanfaatkan wakktunya untuk belajar dan berkorespondensi dengan teman-temannya dari Belanda.
Semangat RA Kartini ini terus hidup sampai sekarang, ini juga jadi inspirasi bagi perempuan untuk tak kenal lelah dalam berjuang.
Sebagai Kartini masa kini, perjuangan-perjuangan perempuan pun kini semakin beragam.
Salah satunya perjuangan untukpemenuhan pendidikan bagi masyarakat adat seperti yang dilakukan Saur Marlina Manurung atau Butet Manurung.
Butet Manurung berhasil memberikan pendidikan bagi 10.000 anak dan orang dewasa anggota suku Anak Dalam di hutan Bukit Duabelas, Jambi.
Dilansir Kompas.com, sejak 1999, Butet memilih meninggalkan gemerlap kota untuk memberikan pendidikan bagi warga suku Anak Dalam.
Untuk mewujudkan niat baiknya itu, Butet harus berjalan kaki menembus hutan belantara.
Upayanya tak selamanya berjalan mulus, tak jarang tawaran pendidikan baca tulis yang ia sampaikan itu ditolak masyarakat.
Saat mengajar di pedalaman,Butet merasa prihatin pada kehidupan masyarakatkarena sering terganggu oleh pihak-pihak yang ingin menguasai hutan untuk dijadikan lahan bisnis.
Butet dan keempat sahabatnya akhirnya mendirikan Sokola Rimba untuk memberikan masyarakat pendidikan yang akan melindungi mereka dari penindasan dunia luar.
Menurut Butet, literasi penting sebagai upaya untuk melindungi dan melawan penindasan dari luar.
Baca Juga : Inspiratif! Fotografer Rusia Terkenal Mengakhiri Karirnya dan Memilih Hidup di Hutan dengan 100 Anjing Sakit
"Pendidikan kontekstual di pedalaman itu kejar-kejaran dengan kerusakan alam dengan hilangnya banyak tadisi yang sangat kaya, kalau nggak diburu-burudibantu dengan pendidikan yang menguatkan mereka nanti hilang semua termasuk hilang sumberdaya alam," ungkap Butet ketika diwawancarai Kompas TV, 21 April 2017 lalu.
Salah satu upaya literasi yang diberikan adalah dengan memberikan dan mengajarkan materi buku-buku terkait dengan isu konservasi lingkungan, hutan adat, hingga hak asasi manusia khususnya menyangkut hak asasi masyarakat adat.
Butet kemudian menyampaikan mimpinya mengenai pendidikan yang ada di Indonesia, khususnya di daerah pelosok.
"Kalau mimpi yang paling realistis adalah dikbud mengadopsi atau mengambil contoh dari sekolah kami untuk diterapkan di berbagai pelosok yang ada di Indonesia, tapi bukan sekolah yang sama persis dengan sekolah yang di kota," tutur Butet.
"Bukan sekolah yang mengubah jadi seseorang yang lain tapi memberi pengetahuan yang menguatkan," lanjutnya.
Pandangan mengenai sekolah formal pun seharusnya mampu diubah karena menurut Butet selama ini sekolah formal dianggap sebagai sesuatu yang mengajarkan orang-orang untuk keluar, untuk pergi.
Terlepas dari kiprahnya di dunia pendidikan Indonesia, Butet mengungkapnya pandangannya mengenai emansipasi.
"Kalau melihat kartini kan ya, dia terkungkung oleh tradisi, dia mungkin takluk tapi dalam banyak hal kemerdekaan bepikirnya bisa dicontoh. Sekarang kita tidak punya kungkungan itu tapi kok sebatas mengejar karir, aku pikir sayangnya disitu. Banyak yang tak sekadar perempuan dan karir yang sifatnya kota, di pedalaman atau di hal-hal yang dianggap ranah laki-laki, aku nggak merasa ada masalah sama sekali, bahkan kalau aku sebagai perempuan malah banyak di gampangkan di lapangan..." kata Butet.
Ia pun memberikan pesan bagi Kartini-kartini muda Indonesia.
"Kemerdekaan berpikir jangan hanya dalam pikiran, harus diaktualisasikan. Dan ukuran keberhasilan itu kebermanfaatannya untuk orang lain buka untuk diri sendiri," pungkas Butet.
Pada tahun 2014, Butetmeraih penghargaan Magsaysay.
Penghargaan ini diberikan untuk individu atau kelompok yang dianggap memberi perubahan terhadap komunitas masyarakat di sekitarnya.
Butet juga pernah menerima penghargaan "Man and Biospher" dari UNESCO dan LIPI pada 2001 dan menjadi salah satu pahlawan versi majalah Time pada 2004.
Beirkut video wawancara dengan Butet Manurung: